Background image source: freepik.com
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat-Nya saya berada dalam keadaan sehat walafiat untuk menjaga komitmen saya dalam ajang lomba menulis ini. Pada kesempatan kali ini, saya akan menuangkan isi pikiran tentang apa yang saya rasakan saat ini. Kisah inilah yang telah menjadi ujung tombak tumbuhnya literasi menulis dan semangat berkarya saya.
14 Oktober 2019 silam merupakan titik kulminasi duka lara hidupku. Tujuh bulan lamanya diberi kebahagiaan pada akhirnya membawa penderitaan sepanjang hayat. A glance of Happiness bears lifetime misery adalah ungkapan menyakitkan yang terpatri dalam jiwaku hingga kini. Apakah anda bisa menebak nestapa apa yang menghamipri saya pada waktu itu? Ya, jawabannya adalah saya telah kehilangan bayiku dalam usia kandungan 7 bulan 2 minggu. Tidak kusangka calon masa depanku berakhir seperti itu. Semua harapan dan cita-citaku seketika sirna ketika dokter pertama kali menginformasikan bahwa bayi yang ada dalam kandunganku itu ada kelainan dan kemungkinan lahir dalam keadaan hidup sangat kecil. Betapa hancur dan remuknya hati saya mendengar perkataan sang dokter seakan-akan jiwaku juga ikut melayang bersamanya.
Dengan tidak berdaya, saya harus menjalani operasi sesar untuk megambil bayi dalam perut saya. Ternyata memang benar apa yang disampaikan dokter kalau bayiku tidak akan bertahan lama setelah dilahirkan dan tepat 9 jam kemudian bayiku menghembuskan napas terakhirnya. Air mata saya memang terus berlinang tanpa henti semenjak dokter memberikan informasi mengenai kondisi bayiku. Air mataku kian mengalir deras yang berakibat pada tersumbatnya saluran napas hingga sesak. Terlebih lagi, petugas tidak mengijinkan untuk memperlihatkan bayi saya kehadapan ibunya meskipun telah meninggal. Pada waktu itu kami berada pada ruangan yang berbeda dan saya belum bisa bergerak pasca operasi. Bayiku langsung dinaikkan ke ambulans untuk dibawa pulang dan dikuburkan. Dia hanya dipangku suamiku tanpa dapat kupeluk maupun kucium. Bisakah anda membayangkan saat-saat seperti itu? Saya sebagai seorang ibu sama sekali tidak dapat menyentuh tubuh anak saya semenjak dilahirkan dan hanya terisak menahan kepedihan di atas ranjang penderitaan.
Waktu demi waktu saya lalui, hari demi hari saya lewati. Saya hanya bisa memandangi foto anakku yang berhasil diabadikan oleh suamiku. Sakit, pedih, dan sesal telah tercampur sempurna dalam jiwa ragaku. Saya hanya bisa membayangkan kenapa semua ini bisa terjadi pada diri saya. Apa rencana Tuhan di balik semua ini. Agar air mataku cepat mengering dan bisa mengalihkan perhatian, beberapa hari setelahnya saya mulai berusaha menata jiwaku yang baru. Adapun yang saya lakukan selama berjam-jam adalah duduk ataupun tiduran sambil menonton drama Cina/Korea lewat android. Hmm, unik kan?😄 Selain itu, saya mulai browsing mencari ketenangan dan siraman rohani dengan membaca artikel-artikel yang bisa menenangkan jiwa. Semua yang saya lakukan itu semata-mata untuk mengalihkan pusat perhatian saya terhadap duka yang dialami. Nah, mulai dari sini lah saya mulai banyak membaca dan menuliskan beberapa ungkapan yang menggambarkan suasana hati saya pada saat itu.
Ungkapan-ungkapan itu akhirnya saya rangkai dalam kata-kata yang enak dibaca hingga menjadi puisi. Seiring berjalannya waktu dan sedikit demi sedikit luka hatiku mulai terobati walaupun masih ada bekas tersayat, saya mulai bangkit dari keterpurukan. Ungkapan-ungkapan gambaran suasana hati yang selalu saya posting di status WA akhirnya menjadi judul-judul puisi yang pada akhirnya menjadi kumpulan puisi yang bisa dibukukan. Secara kebetulan, kolega saya mendorong saya untuk membuat karya inovatif baik itu puisi ataupun cerpen yang nantinya bisa diterbitkan menjadi sebuah buku yang ber-ISBN. Akhirnya, kumpulan puisi dari hasil curahan hati saya bisa saya terbitkan menjadi sebuah buku.
Inilah yang saya rasakan sampai saat ini, kebersamaan saya dengan bayiku selama 7 bulan 2 minggu merupakan anugerah dan kebahagiaan yang tak ternilai. Tetapi, pada akhirnya kebahagiaan itu direnggut kembali menjadi penderitaan. Di balik penderitaan itu ada hikmah yang saya petik.
Demikian tulisan yang saya bisa bagikan pada tantangan lomba menulis ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar