Ceria Menantimu, Lara Kau Tinggalkan
(Sepenggal
Kenangan Seorang Ibu)
Tidak seperti biasanya yang sore hariku
dihabiskan dengan duduk di kanopi rumah sambil asyik mengotak-atik HP dan laptop
berselancar di dunia maya untuk mengakses informasi ataupun sekedar berkunjung
ke jejaring sosialku, sore yang mendung ini hanya kurasakan nyaman bergolekan di
atas sofa tidurku yang empuk. Tatkala memanjakan hariku, datanglah Radeva,
putra semata wayang aku yang baru menginjak usia lima setengah tahun. Dia selalu
membuat laporan padaku tiap kali
melakukan sesuatu, termasuk saat ini yang nyelonong masuk memberitahuku kalau
dia kangen dengan adiknya sambil membawa album foto.
“Bu,
Deva kangen sama adiknya,” ungkap Radeva kepadaku sambil menunjukkan foto
adiknya di album.
“Iya,
ibu juga selalu kangen sama adiknya Deva,” Jawabku.
“Yuk,
putar musiknya adik, bu,” Pinta dia sambil merengek meraih lenganku.
“Ya,
lah. Sini dong, deket Ibu dengerin lagunya adik bersama-sama,” Kataku sembari
meraih handphoneku di bawah bantal. Dalam hati dan pikiranku, aku akan terbawa
dalam deraian kenangan pilu setahun silam jika mendengarkan alunan-alunan musik
yang menyentuh kalbu itu.
Kala
itu tertanggal 19 Maret 2019, Tuhan
memberiku kejutan yang tak terduga. Tes pack menunjukkan bahwa aku positif.
Wah, bahagianya hatiku dan suamiku melihat hasil tes tersebut. Ini merupakan
anugerah ketiga dalam bahtera rumah tangga kami sejak Januari 2014 lalu. Tanpa
berpikir panjang lagi, aku langsung menelpon dokter kandungan yang biasa
melayaniku. Tentunya aku dan suamiku ingin check-up
memastikan kondisi janin yang mulai berkembang di rahimku. Sore hari itu yang
mana sang surya mulai tenggelam ke peraduannya, aku dan suamiku bersiap
berangkat untuk check-up kandungan ke
klinik yang bisa ditempuh sekitar satu jam dari rumahku. Tetapi, keberangkatan
kami akan terasa ada yang kurang jika aku belum meminta ijin dari putraku,
Radeva. Kliniknya lumayan jauh, sehingga kami memutuskan untuk tidak
mengajaknya karena pastinya akan pulang malam.
“Deva,
ibu mau ke dokter diantar bapak sekarang. Deva baik-baik ya di rumah bersama
kakek.” Pesanku terhadap Radeva.
“Iya,
gak boleh nakal dan menyusahkan kakek, ya, Nak!” Tambah suamiku.
“Lho,
memangnya siapa yang sakit, kok ke dokter?” Tanya Radeva.
“Kalau ke dokter tidak hanya karena sakit,
tetapi juga untuk konsultasi atau bertanya, Sayang. Sekarang ibu pergi ke
dokter hanya untuk bertanya dan konsultasi.” Terang aku dengan lirih. Memang
anakku tidak akan pernah puas kalau informasi yang didapatkan tidak lengkap.
Aku dan suamiku memang terbiasa memberikan informasi sejelas-jelasnya sebab
jika tidak demikian, dia akan kecewa dan ngambek. Dia selalu ingin tahu lebih
banyak tentang apapun itu. Benar-benar curious
istilahnya.
“Oke,
dah kalau begitu. Hati-hati, ya!” Sarannya dengan singkat seraya melambaikan
tangannya tanda selamat jalan. Tumben juga tidak terlalu banyak bertanya. Segera
suamiku menyiapkan kendaaraan dan aku pun tak lupa minta ijin ke mertua dan
sekaligus meminta mereka untuk menemani Radevaku.
Singkat
cerita, sampailah kami di klinik setelah kurang lebih sejam perjalanan. Sudah
kuduga pasti akan membosankan karena harus menunggu deretan antrian yang
panjang. Akhirnya, setelah hampir satu setengah jam menunggu, tibalah giliranku
untuk masuk ke ruang dokter setelah dipanggil urut oleh petugas. Ketika pintu
dibuka, terpampang senyum adem di wajah sang dokter sambil menyapa, “Halo, Ibu
Praba. Gimana kabarnya, ada yang bisa dibantu?”
Sapaan ramah inilah yang selalu beliau lontarkan sehingga aku merasa
nyaman dan tenang setiap periksa ataupun berkonsultasi dengannya.
“Baik,
Dok. Ini saya mau periksa, kemarin tes pack menunjukkan bahwa saya positif
hamil. Sekarang saya mau memastikan kondisi janinnya.” Ungkapku sambil melirik
alat USG yang sebentar lagi akan digunakan untuk melihat kondisi janinku.
“O,
begitu, ya. Sebentar, Saya cek dulu tensinya.” Imbuh sang dokter sambil
mempersiapkan alatnya.
“Hm
… Kondisi janin Ibu baik. Sudah mulai ada perkembangan dan ini sudah memasuki
usia 6 minggu. Perkembangan janinnya pun tumbuh normal, jadi tidak ada masalah.
Ibu tinggal menjaga dan merawat kondisi kehamilan Ibu.” Terang dokter yang
menjelaskan secara detail. Ketika mendengarnya, seketika rona wajahku terasa
berbinar dan ketegangan wajah suamiku pun pecah dan mulai menyala penuh
kebahagiaan. Setelah puas berkonsultasi dan yakin bahwa janinku akan baik-baik
saja, kami pun pulang berbekal rasa sukacita.
Di
tengah perjalanan, pikiranku dipenuhi dengan harapan baru, menghayal anugerah
ini akan menjadi sandaran hidup kami kelak. Aku siap menjalani kehamilan ini
meskipun di tengah-tengah aktivitasku sebagai seorang wanita karir dan juga ibu
rumah tangga. Suamiku pun juga berpikir seperti itu.
Setelah
sampai di rumah, terlihat lampu depan telah padam dan tak terdengar suara
langkah kaki Radeva yang seperti biasa terdengar terhentak ketika aku maupun
suamiku pulang. Itu tandanya dia telah tertidur karena waktu telah menunjukkan hampir
pukul 23.00. Aku menengok kamarnya dan benar dia telah tertidur pulas ditemani
kakeknya. Beberapa waktu kemudian, aku pun segera merebahkan tubuhku karena terasa lumayan
payah.
Keesokan
harinya, tatkala membuka mataku, betapa terkejutnya Radeva tampak tersenyum
manis di depan mataku dan menyapa.
“Bu,
Kok lama sekali ke dokter? Ibu tau gak, Deva sampai ketiduran nungguin Ibu dan
bapak pulang.” Keluhnya dengan cemberut.
“Maaf, ya, Nak. Ibu memberitahu sekarang kalau
Deva akan segera punya adik dan bermain bersamamu nanti.” Lontarku dengan penuh keyakinan kalau dia akan senang
mendengarnya.
“Adik?
Kapan Deva punya adik, Bu? Cewek atau cowok, Dari mana datangnya?” Tanyanya
secara bertubi.
“Ibu
sedang hamil adikknya Deva dan perut Ibu nanti akan tambah besar karena ada
bayi yang terus tumbuh membesar, kemudian lahir dah dari perutnya Ibu nanti.” Ungkapku
dengan gamblang.
“O,
nanti adiknya Deva keluar dari perutnya Ibu, gitu ya?” Tegasnya.
“Iya.
Dulu juga Deva ada di perutnya Ibu, lahir dan sudah cepat besar dan ganteng
seperti sekarang, m…muahh,” Jawabku yang langsung kucium pipi tembamnya.
“Ye,
ye, ye, Deva akan punya adik. Deva gak sabar, Bu,” Imbuhnya dengan riang
gembira sambil meloncat-loncat.
Setelah
beberapa menit ngobrol dengan putraku, mulailah aku beranjak dari tempat
tidurku dan menjalankan kewajibanku sebagai ibu rumah tangga dan kemudian
sebagai wanita karir yang harus berangkat ke kantor. Hari demi hari kujalani
seperti biasa dan kondisiku juga mulai menunjukkan tanda-tanda ngidam karena
sudah tidak nyaman dan terasa mual.
Minggu
demi minggu berlalu dan kandunganku semakin membesar dan telah menginjak usia kandungan 6,5 bulan. Tak sabar check-up lagi yang rutin setiap bulan
kulakukan. Seperti biasa, aku berangkat dengan suamiku ke klinik langganan.
Ketika tiba di sana, sedikit beruntung sih karena hanya menunggu beberapa menit
sudah dipersilakan masuk. Dokter tersenyum menyapa begitu kami masuk dan siap
untuk melakukan pemeriksaan terhadap kandungannku.
“Wah,
selamat ya, Bu. Adik bayinya bertumbuh dengan normal dan sempurna.” Ungkap
dokter seraya menggerak-gerakkan alatnya di perutku.
“Jantungnya bagus dan normal. Semua organ
sudah berfungsi dengan sempurna. Kelaminnya … ini cowok, Bu.” Beber sang dokter
yang secara detail menjelaskan organ-organ tubuh bayiku.
“Wah,
syukurlah, Dok. Yang penting bayinya sudah berkembang dengan sehat, normal dan
sempurna.” Ungkapku dengan tenang dan lega.
“Sykurlah,
Dok. Yang penting sehat dan normal apapun jenis kelaminnya.” Imbuh suamiku.
Surga
benar-benar terasa di tengah-tengah keluarga kecil kami. Harapanku tercapai
untuk memiliki dua orang putra. Sejak pernikahan aku memang ingin memiliki dua
orang putra saja. Ketika pulang dari klinik, kami tidak langsung berangkat ke
rumah. Karena waktu menunjukkan belum jam 7 malam, kami memutuskan untuk
singgah di toko mainan untuk membelikan Radeva hadiah sebagai tanda sukacitaku.
Sesampainya di rumah, Radeva menyambut kami dengan riang seolah-olah dia tahu
juga kebahagiaan orang tuanya. Riang gembiranya semakin memuncak tatkala
kuperlihatkan mainan baru untuknya.
“Deva,
coba ke sini, dekati Ibu,” Pintaku
“Ada
apa, Bu?” Tanyanya dengan penasaran sambil membawa mainnannya.
“Adiknya
Deva cowok, nanti Deva ada teman dah mainan mobil dan sepakbola,” Bisikku
sembari memeluknya.
“Benar,
Bu? Horeee … Deva punya adik cowok,” Serunya sambil menaikkan kedua tangannya
ke atas tanda senang sekali.
“Bu,
ayo, Deva mau menyanyikan lagu buat adiknya Deva,” Desaknya sambil meraih
lenganku dan memintaku untuk rebahan. Mendekatlah dia ke perutku dan
menyanyikan beberapa buah lagu anak untuk adikknya. Selama beberapa minggu
belakangan, Radeva sering menyanyikan lagu buat adikknya. Aku pun demikian,
selalu ingin mendengarkan musik relaksasi dan juga musik irama instrumental
yang adem dan menyejukkan jiwa karya Gus Teja, musisi asal Bali yang sudah
terkenal ke manca negara. Dari awal semenjak aku ngidam, aku hanya ingin
mendengarkan musik-musik relaksasi dan instrumental karya Gus Teja. Berharap
anakku kelak memiliki karakter yang berjiwa mental yang kuat, tenang dan
cerdas.
Hari
demi hari kulalui, dan mulai merasa sering kelelahan. Beban tubuhku mulai berat
dan sering juga merasa kesakitan dan kesemutan sekitar pinggang dan perutku.
Tetapi, aku berpikir itu wajar karena sudah memasuki hamil tua yakni sudah
hampir 7,5 bulan. Beberapa tugas di kantorku aku tunda karena merasa tidak
mampu untuk menyelesaikannya. Karena sering merasa nyeri dan sakit, akhirnya
aku memutuskan untuk tidak masuk kantor hanya sehari yang kebetulan juga sudah
akhir pekan yakni hari sabtu tanggal 12 Oktober 2019. Sore hari itu juga aku
harus konsultasi ke bidan dekat rumahku mengingat semakin sakit kurasakan
seperti mau melahirkan padahal baru 7,5 bulan.
Setelah berkonsultasi, bidannya hanya bilang itu wajar di usia kehamilan
sekarang, bayi mulai sering berkontraksi. Hatiku pun mulai tenang walaupun
sakit itu tetap kurasakan.
Malam
harinya aku tidak bisa tidur karena menahan sakit, aku mulai khawatir tentang
kondisi bayiku. Melihat kondisiku yang terus kesakitan, esok harinya suamiku segera
menelpon dokter langgananku untuk check-up,
tetapi dia tidak akan praktek di klinik karena sedang bertugas di luar
kota. Akhirnya suamiku menghubungi dokter kandungan lain yang bisa praktek sore
itu. Dokter pun ada dan kami siap berangkat untuk periksa kondisiku.
Sepanjang
perjalanan dalam mobil yang dikendarai sepupu suamiku, aku tidak bisa tenang
karena terus menahan sakit. “Masih sakit, Bu? Tanya suamiku lirih di sampingku.
“Iya,
s…sakit sekali kayak mau melahirkan,” Jawabku terbata. Firasatku sudah tidak
enak kurasakan dan sempat berpikir akan melahirkan prematur.
Setibanya
di tempat dokter, petugas langsung mempersilakan masuk setelah diregistrasi.
Tanpa basa-basi aku menyampaikan keluhanku dan dokter pun mulai memeriksa
kandunganku.
“Wah,
kenapa ini? Ada apa dengan bayinya?” Tanya dokter dengan nada heran dan
terkejut sambil melihat layar komputer.
“Kenapa
dengan bayi saya, Dok?” Tangkasku dengan penuh rasa ketakutan.
“Jantungnya
ada kelainan berupa cairan. Organ perutnya juga penuh dengan cairan. Hampir
semua organ dipenuhi cairan.” Lontar dokter sambil menggelengkan kepalanya
sebagai isyarat kondisi bayiku benar-benar parah.
“Ini
harus segera diangkat agar tidak beresiko untuk sang ibu,” Tambahnya dengan
tegas.
“Lantas,
bayinya bagaimana, Dok? Bisa diselamatkan?” Tanya suamiku yang raut mukanya
sudah dipenuhi kekhawatiran.
“Sulit
dipertahankan setelah dilahirkan, Pak. Kalaupun selamat lahir, itupun tidak
akan bertahan lama, kondisinya akan semakin melemah,” Terang sang dokter.
Seketika
jantungku terasa mau copot, jiwa dan ragaku mulai lunglai setelah mendengar
keterangan dari dokter. Dokter segera mengambil tindakan dengan membuat surat
rujukan rumah sakit bahwa aku akan segera dioprasi. Ini sudah tindakan darurat
dan dokter tidak mau mengambil resiko sehingga dalam hitungan 12 jam aku sudah
siap di ruang oprasi.
“O
… T …tidaaaak!” teriakku dalam pikiran sambil terisak. Suamiku mulai
menenangkanku. Apa yang terjadi padaku seakan-akan tak percaya dengan keadaan
yang mendadak ini. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa bayiku akan
berakhir seperti ini. Pupuslah harapanku seketika dan di firasatku berkata
bayiku tidak akan selamat. Pipiku mulai bergelimang air mata dan suamiku juga
tidak bisa berkata sepatah pun.
Saat
aku akan dibedah di ruang oprasi, tak lupa dokter memintaku berdoa agar oprasi
berjalan lancar dan selamat. Setelah menahan sakit dibedah walaupun sudah dibius,
akhirnya bayiku keluar tanpa tangisan dan sudah terlihat membiru. Dan saat itu
juga aku tak sadarkan diri apa yang terjadi selanjutnya.
Tatkala
aku sadar, aku sudah di ruang perawatan
dan mendengar kata-kata, “Sabar ya, Sayang, iklaskan anak kita. Mungkin ini
sudah takdir. Kita sudah berusaha yang terbaik,” Bisik suamiku dengan nada
perlahan dengan raut wajah kekecewaan. Air mataku tak bisa dibendung lagi dan
membanjiri wajahku. Dokter berkata benar walaupun bayiku lahir hidup, kondisnya
berangsur-angsur akan menurun. Itu terbukti setelah 9 jam dirawat, bayiku
akhirnya tak tertolong.
Dadaku
mulai sesak dan sulit bernapas karena tangisku tak bisa dihentikan serasa
seperti sungai yang terus mengalir tanpa henti. Apalagi ketika suamiku berhasil
mengabadikan bayiku dan memperlihatkan foto bayiku yang putih, bersih dan
montok seperti bayi sehat. Deraian air mata sambil terisak tak tertahankan. Hatiku terasa dicabi-cabik. Aku sulit berpikir jernih untuk waktu yang cukup lama. Hari-hariku hanya dipenuhi dengan bulir-bulir air mata yang mengalir deras tak kenal waktu.
14 Oktober 2019 akan selalu menjadi momen bersejarah sepanjang hidupku. Itu adalah hari kedatangan dan sekaligus kepergian putraku yang ketiga. Putraku yang pertama juga baru berumur 2,5 bulan kandungan telah diambil Tuhan. Dua belahan hidupku kini telah damai di sana bersama-Nya dan saat ini aku hanya punya Radevaku yang menjadi napas hidup dan matahari yang akan selalu menyinari kehidupan kami.